Kisah Jampang Kulon Surade Dalam Kitab Kuno Berjudul " Hiedeung "

    Kisah Jampang Kulon Surade Dalam Kitab Kuno  Berjudul " Hiedeung "

    Jabar, Warta. id - Legenda adalah cerita sejarah rakyat (folk history) zaman dahulu yang berkaitan dengan peristiwa dan asal usul terjadinya suatu tempat. Seringkali legenda itu bercerita tentang tokoh sejarah yang memang benar ada, tapi karena berkembang secara lisan lalu dilebih-lebihkan sebagai bentuk kecintaan terhadap sang tokoh.

    Tak terkecuali dengan legenda 5 Embah (eyang atau sesepuh) yang katanya menjadi karuhun (nenek moyang) orang Jampang. Uniknya, ke-5 Embah atau karuhun yang dimaksud berhubungan dengan seorang tokoh bernama Adipati Jagabaya, seorang ningrat pemimpin Kabupaten Galuh Imbanagara yang berkuasa sekitar tahun 1731-1751 M.

    Alkisah, Raden Jagabaya terdesak di antara perseteruan pemerintahan kolonial Belanda dengan Kasultanan Mataram. Demi mencari keselamatan, Jagabaya dan anak-anaknya melakukan pelarian sampai ke daerah Jampang Kulon, Surade dan sekitarnya. Kisah tersebut tertulis dalam kitab kuno berujudul “Hideung” yang diterjemahkan oleh sejarawan Sukabumi, Anies Djatisunda.

    Lalu, siapa saja 5 Embah yang dikenal sebagai karuhun orang Jampang dan sekitarnya?

    [1] Embah Emas

    Tersebutlah seorang ningrat keturunan Galuh Ciamis bernama Raden Mas Surawijangga yang kemudian dikenal orang Jampang dan sekitarnya dengan nama Embah Emas. Embah Emas adalah putra dari Adipati Jagabaya, terkenal dengan julukan Dalem Sawidak. Embah Emas diangkat menjadi Wedana di Panjalu Imbanagara.

    Pada masa pemberontakan Pangeran Diponegoro (1825-1830), Galuh dan Panjalu diberi perintah olah Mataram yang saat itu dalam kekuasaan Belanda, agar mempersiapkan pasukan untuk mencegah pasukan Diponegoro di tepi sungai Citanduy. Karena membela Pangeran Dipenogoro, Embah Emas menentang perintah tersebut

    Embah Emas lalu bermusyawarah dengan empat adiknya dan hasilnya mereka sepakat untuk minggat (pergi secara diam-diam), tetapi bukan kabur karena takut. Rombongan yang minggat jumlahnya kurang lebih 40 keluarga, ditambah empat saudaranya, tiga saudara laki-laki, satu saudara perempuan.

    Berangkat melalui jalur laut di pantai selatan Pulau Jawa, Berlabuh di Cilauteureun, selanjutnya berjalan kaki menyusuri sungai Cikaso ke arah hulu, hingga sampai di sebuah penyeberangan (Sunda Peupeuntasan). Di situlah Embah Emas melakukan babat alas (membuka wilayah) menghabiskan sisa hidupnya.

    [2] Embah Karangbolong

    Saudara laki-laki yang pertama Embah Emas bernama Raden Mas Martanagara. Ia menetap di kampung Karadenan (sekarang bernama Cibitung). Setelah meninggal kemudian dimakamkan di Karangbolong (hutan lindung Jati/leuweung tutupan Jati). Makanya ia dikenal dengan nama Embah Karangbolong.

    Alkisah, Raden Mas Martanagara terkepung dua kekuatan pasukan Mataram pimpinan Ki Mas Santanu dan pasukan Kompeni pimpinan Brojonoto. Awalnya Embah Karangbolong bertarung dengan Ki Mas Santanu. Kedua belah pihak saling menyerang dan saling bertahan. Segala kemampuan dan peralatan yang ada dikerahkan, sehingga pertempuran pun semakin seru dan menegangkan. Korban mulai berjatuhan baik dari pihak Mataram maupun dari pihak Rd. Mas Martanagara.

    Dalam keadaan pertarungan sedang sengit, datang pula rombongan utusan Kompeni yang dipimpin Brojonoto. Mereka langsung melarutkan diri dalam pertarungan tersebut, sehingga kekuatan menjadi tidak seimbang. Pasukan Mataram merasa ada bantuan dan kekuatan dengan kedatangan rombongan Brojonoto.

    Melihat kedatangan Brojonoto bersama pasukannya yang langsung menyerang, membuat Embah Karangbolong menjadi kaget. Singkat cerita, Embah Karangbolong membuat siasat untuk mundur secara teratur dan membawa lari pasukannnya ke arah selatan, untuk menghindari musuhnya agar tidak mendekati induk pasukan yang berada di perkampungan baru yaitu di Karadenan–Cibitung.

    Embah Karangbolong mencoba memancing musuh agar mengejarnya dan sampailah ke suatu tempat yang disebut Cilame. Di tempat inilah kedua belah pihak bertarung habis-habisan. Akibatnya, Brojonoto merasa kelelahan sehingga mengalami kekalahan. Seluruh tubuhnya bersimbah darah karena terkena pedang Embah Karangbolong.

    Melihat kematian Brojonoto, Ki Mas Santanu memilih untuk mundur dan melepaskan Embah Karangbolong.

    [3] Embah Cigangsa

    Yang ketiga adalah Embah Cigangsa alias Eyang Santri Dalem. Nama aslinya adalah Raden Surianatamanggala dan ia adik dari Embah Emas. Dalam pelariannya bersama sang kakak, Raden Surianatamanggala memilih menetap di Cigangsa (Surade) hingga akhir hayatnya.

    Ada sebuah kisah tentang Embah Cigangsa, dikatakan bahwa ia seorang sepuh/tetua yang tinggi ilmunya, cerdik cendekia, dan saciduh metuh saucap nyata (seucap nyata). Tersebutlah Embah Cigangsa mempunyai adik perempuan bernama Nyimas Suradewi. Embah Cigangsa sangat menyayangi adiknya itu.

    Singkat cerita, saat Nyimas Suradewi meninggal saat melakukan perjalanan, Embah Cigangsa memberi nama wilayah kekuasaan adiknya dengan nama Surade, untuk mengenang adiknya itu. Itulah asal mula nama Surade.

    [4] Embah Bungsu

    Saudara ketiga dari Embah Emas yang ikut pelarian ke tanah Jampang dan sekitarnya bernama Raden Bratadikusumah alias Embah Bungsu. Embah Bungsu walaupun menjadi adik paling kecil, namun dikenal memiliki ilmu agama yang tinggi dan karenanya sangat dihormati oleh kakaknya, Embah Emas dan Embah Cigangsa.

    Menurut sumber Ikin Ardisoma, Embah Bungsu membuka kampung dan menetap di Hulu Sungai Cicurug Pamerangan (sekarang kampung Purwasedar 2, Jampang Kulon) di sekitar mata air Cicurug. Mata airnya sampai saat ini masih terus memancarkan air walaupun sedang kemarau. Bisa jadi itu salah satu karomah ketinggian ilmu seorang Embah Bungsu.

    [5] Embah Beureum

    Embah Beureum tak ada hubungan persaudaraan dengan keempat embah sebelumnya. Namun demikian kisahnya saling berkaitan erat. Brojonoto yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah adalah seorang pemimpin pasukan yang diperintahkan Kompeni (Belanda) untuk mengejar Embah Emas dan adik-adiknya. Dalam pengejaran itu, Brojonoto melakukan duel dengan Embah Karangbolong dan kalah sampai meregang nyawa.

    Brojonoto lalu dimakamkan di dekat batu tumpang pinggiran pantai. Kini banyak orang menyebutnya kuburan Embah Beureum (makamnya tidak jauh dari pinggir Pantai Karangbolong, Kecamatan Cibitung).

    Itulah kisah tentang lima embah yang menjadi karuhun urang Jampang dan sekitarnya. Wallahualam.

    Sumber : Primer
    Jurnalis : Anwar Resa

    jabar
    Anwar Resa

    Anwar Resa

    Artikel Sebelumnya

    Kisah Ratu Pantai Selatan Nyi Roro Kidul,...

    Artikel Berikutnya

    Aktivis Sebut  Bayu Noviandi Solusi Untuk...

    Berita terkait